Kamis, 21 Mei 2009

Musuh dalam Selimut

Engkau berjalan bersama musuhmu...
Engkau makan bersama musuhmu...
Engkau tidur bersama musuhmu...
Bahkan Engkau selalu bersama musuhmu...
Karena musuhmu ada didalam dirimu...

Ketika saya sedang malas-malasan melakukan sesuatu, akhirnya yang saya lakukan hanyalah tidur। Saya berpikir, banyak sekali orang yang menjadikan temannya sebagai musuh karena terpaut urusan-urusan sepele, ada yang karena kalah bersaing memperebutkan seorang gadis, ada yang menyimpan dendam karena sakit hati yang tak bisa disembuhkan, ada yang memang hobinya berkelahi dan ingin berkuasa. Dan masih banyak hal-hal kecil yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi musuh dengan sesamanya.

Begitu banyak faktor yang menjadikan anak muda sekarang banyak yang terjerumus dalam kenakalan remaja; karena pengaruh lingkungan, pendidikan, kurang perhatiannya orang tua dalaam mengawasi anaknya।

Jika kita sadari, musuh yang nyata ada dalam diri manusia itu sendiri.

Senin, 23 Maret 2009

Ini tentang cerita masa kecilku…

Waktu itu saya baru duduk dikelas 5 SD, sejak kecil saya suka sekali bersepeda, karena banyak kawan-kawan yang hobi mengayuh sepeda sehingga pikiran pun bisa merasa segar sekaligus sebagai olah raga yang menyenangkan pada masa kecilku dulu. Saya bersepeda kesana kemari, bersama teman-teman saya menjajaki desa, perbukitan, bahkan sampai ke hutan yang jalannya tidak menentu. Pernah kami bertiga dari rumah masing-masing bersepeda santai dan kami pun bertemu dijalan, ketika itu kami sempat ngobrol sedikit dan akhirnya kami menentukan bersepeda santai tanpa tujuan. Kami terus berjalan dengan mengayuh sepeda masing-masing, dan salah satu diantara teman saya memutuskan untuk melewati hutan (dalam bahasa jawa : Alas) yang ditumbuhi beberapa pohon besar walaupun luasnya agak kecil dan persawahan yang jalannya hanya setapak karena rumah mereka dekat jika melewati jalan tersebut. Memang desa kami dikelilingi banyak hutan dan persawahan, mulai dari sebelah timur yang sekarang telah didirikan sebuah pesantren salaf yang bernama“AL-KHIDMAH” dan akan dibangun Masjid untuk acara-acara tertentu. Di sebelah barat ada hutan-hutan yang terkenal angkernya sampai ke penjuru kota, menurut mitos dahulu disana banyak penunggu-penunggu semacam makhluk halus. Pernah ada peritiwa, pada waktu itu tanggal 09-09-1999 hampir pukul 08.00 WIB terjadi kecelakaan terbesar pertama di desa kami karena memang banyak orang yang meramalkan terjadinya bencana pada masa itu. Dan didesa kami itu terjadi kecelakaan bus yang menewaskan dua orang penumpang, salah satunya adalah seorang kondektur, karena bus tersebut kebanyakan penumpang akhirnya bus tersebut tergelempang ke samping kiri dan salah seorang kondektur tertindih angkota kota yang bermuatan banyak tersebut dan tidak bisa menyelamatkan diri sampai nyawanya tidak bisa tertolong. Ya hutan tersebut sangat dikenal orang-orang dengan nama SIGAR BENCAH .

. . . . . . . . .

Jalan yang penuh dengan lubang bahkan akar pohon yang besar telah kami lewati dengan susah payah, walau ditengah jalan saya hampir putus asa dan sangat cemas apakah akan sampai melewati hutan itu belum lagi persawahan yang jalannya membuat jantung berdebar karena lekukan yang tajam dan hanya setapak. Sesampai disitu kami masih menyeberangi sungai yang tidak begitu deras airnya. Merasa sangat lega pastinya sebab sungai yang menjadi perbatasan antara hutan dan persawahan dengan desa kami telah terlewati juga. Alhamdulillah, tidak ada yang kurang sedikitpun akhirnya kami sampai di rumah masing-masing.

Itulah salah satu pengalaman masa kecil saya yang tak terlupakan ketika saya masih dapat mengayuh sepeda. Dan ketika tangan dan kaki saya mengalami stroke ringan (walau masih dapat digerakkan sedikit-sedikit), saya tidak dapat lagi bersepeda santai dengan teman-teman bahkan sampai sekarang saya belum pernah menyetir kendaraan apapun selama belasan tahun.

Awalnya saya jatuh dari sepeda berulang kali, kira-kira sebualan kemudian saya sakit deman biasa dengan panas tidak terlalu tinggi selama dua hari lamanya dan beberapa hari kemudian setelah sembuh, saya diajak rekreasi oleh Ibu saya ke Borobudur dengan menaiki Bus Pariwisata. Ketika saya menaiki tangga bus, kaki kanan saya agak berat. “Ini tidak seperti biasa, sungguh aneh”, gumamku dalam hati. “Apakah kaki saya sakit..?”, saya bertanya-tanya dalam hati.

Inilah ketika gejala awal saya mengalami stroke ringan, kaki agak berat jika mengangkatnya jadi jika saya berjalan kaki saya seret dan jalannya agak terlalu lambat. Hingga saya dibawa ke RS Karyadi Semarang dan saya menginap disana selama seminggu, hari demi hari saya lewati disana saya, sedih ketika melihat ayah saya mondar-mandir bolak-balik dari rumah ke RS tiap hari hingga beliau tak konsen lagi dengan pekerjaannya, saya kasihan melihat ayah saya sibuk seperti itu, tak terasa air mata menetes tiap kali melihat ayah saya datang menjenguk, itu membuat beliau tak berlama-lama disana saat melihat saya menangis. Beberapa kali saya disinar-X dan terakhir dokter menyarankan agar saya dioperasi otak belakangnya, ayah saya disuruh menandatangani perjanjian operasi itu tapi beliau tidak setuju, akhirnya saya dibawa pulang dengan tidak disetujui oleh dokter-dokter yang menangani saya, tetapi ayah saya tetap ngotot agar saya segera dipulangkan.

Singkat cerita suatu ketika saat menerima pelajaran di sekolah, tangan kanan saya mengalami kesemutan yang sangat luar biasa, dari kaki ke tangan kesemutan itu membuat saya tidak berdaya, tangan saya yang masih memegangi bolpoin jatuh seketika tanpa disadari, ingin rasanya berteriak kesakitan tapi itu tidak mungkin karena masih didalam kelas, akhirnya selama kurang lebih lima menit rasa sakit itu berangsur-angsur hilang. Dan saat itu pula tangan kanan saya menjadi lemah lunglai, tidak bisa memegangi bolpoin lagi dan saya hanya bisa mendengarkan bapak guru ketika menerangkan pelajaran. Saya sudah diobatkan kemana-mana hingga mencapai hampir 100 tempat lebih, dari pijat syaraf, kedokteran, Shinse, Akupuntur hingga Alternatif sudah saya jalani. Namun belum juga membuahkan hasil. Tetapi dalam hati saya yakin suatu saat pasti aku akan kembali seperti sedia kala...

Dan inilah yang membuat saya berpikir, ada hikmah apa dibalik semua ini. Mungkin Tuhan ingin menyelamatkanku dari kerusakan-kerusakan dunia, dari beberapa kenakalan remaja yang sudah merajalela sampai saat ini seperti sex bebas, naskoba, miras, tawuran antar remaja, dan lain sebagainya. Mungkin Tuhan ingin menjaga saya dari dosa-dosa besar tersebut, dan Berkat Rahmat dan Hidayah-Nya saya tidak pernah melakukan hal-hal itu.

Tapi disisi lain saya yang menjadi satu-satunya pengganti Ayah saya dari empat bersaudara, karena anak laki-laki hanyalah saya ini kadang membuat saya merasa mengemban tanggung jawab yang sangat besar. Lalu saya berandai-andai alangkah baiknya andai saya sehat, saya dapat mebantu bekerja menggantikan ayah saya lalu beliau dapat beristirahat di rumah menikmati hari-hari tuanya yang usianya yang sudah mencapai kepala lima. Juga dapat mengantarkan Ibu jika ingin belanja ke pasar, dan melakukan hal-hal yang baik lainnya.

Itulah sebagian hal yang menjadi pemicu semangat saya untuk sembuh, agar dapat sepenuhnya membantu kedua orang tua saya. Untuk itu saya mohon bantuannya teman-teman, para pembaca bagaimana yang harus saya perbuat selama dalam kondisi seperti ini?lebih-lebih mau bertukar pengalaman dengan saya...

Jumat, 06 Maret 2009

Ten Secrets of Success in Business Event Marketing

Business marketers spend more than $20 billion annually on tradeshow marketing, and another $15 billion on proprietary corporate events, such as client conferences and road shows. But most business marketers are unclear about what value they are getting from their investment.
The best value results from a combination of careful planning, dedication to measurement and—above all—a strategic focus. First and foremost, you must consider the fundamental principles that drive successful business event marketing—boiled down here to 10 essentials:

1. Business events are a hybrid sales and marketing activity

They combine elements of selling, lead generation, public relations, research, brand awareness building and account penetration, to name a few. In fact, among marketing activities, business events are about as close to sales as you can get. You might say they are akin to a sales call combined with an ad and PR campaign. If you think of them as simply "sales" or simply "marketing," you'll lose some of the leverage available to you.

2. Business events must be an integral part of the marketing mix

Consider them within the larger context of the entire go-to-market strategy. When seen as mere tactics, something "we do every year because we always have," they will quickly devolve from an investment into an expense. Marketers must consider the entire marketing mix—the annual program—and fit in the business event opportunity where it will drive the best result. In many cases, a business event is not the right lever to meet the business objective.

3. Targeting is everything

A great business event is only as great as the visitors it attracts and their value as customers and prospects. At a tradeshow, a fabulous booth is useless in front of the wrong people. So, tradeshow selection deserves your attention and your discipline. When you plan your participation at a business event, design your activities to attract the real potential buyers and minimize the non-prospects. Be very clear about whom you want to meet and what conversations you want to have.

4. Set clear, specific objectives

Plan—and fund—the metrics by which you will measure your results. This should go without saying, but business events have been managed with less than due diligence in this area. As a result, business events as a whole have developed an undeserved reputation for being "difficult to measure." They are no more difficult than any other marketing activity. Events can, and must be, measured.

5. Don't ask a business event to deliver on its weaknesses

Tradeshows, for example, tend to be inefficient venues for generating awareness. They are an expensive way to build a mailing list. If those are your objectives, you will find other, more compelling options in the business marketing toolkit. Nor are business events effective opportunities to keep up with the Joneses. If your competitors at a show have fancier booths, a bigger footprint or splashier sponsorships, you can congratulate yourself. You are probably driving better business results than they, with your focused, targeted and measurable business event marketing activities.

6. The business event itself is only a few days in the midst of a larger, multi-month program

It's the tip of the iceberg—it's what you see, but it's only a minor part of business event marketing. Some companies think that if they pull together a booth and show up at the tradeshow, they are all set. Keep in mind that you are conducting an end-to-end marketing campaign, with the business event itself as a part of the overall campaign.

7. Promote your business event

At a tradeshow, you cannot simply rely on show management to get you all the possible business opportunities at the show. Pre-show promotions are perhaps the greatest under-leveraged opportunity in tradeshow marketing today. This is where the right targets are identified, and attracted to meet with you face to face. For corporate events, promotions are required to drive attendance in the first place.

8. Capture and follow up on your business event contacts

Post-event is where the real revenue-driving business is done. At a tradeshow, go for the quality, versus the quantity, of contacts. Lead capture and management is a process; it simply requires attention and diligence. If you don't have a lead management process in place at your company, stop now. Go build one before you invest another dollar in business event marketing.

9. It's all about people

If business events are an efficient face-to-face medium, then the leverage to be gained is in the people involved on both sides of the interaction. Success is about targeting the right audience and persuading them—and only them—to interact with you at the business event. It's equally about selecting, training and motivating a strong staff to interact with them.

10. The business event serves business goals

Don't neglect the forest for the trees. Managing events is an extremely complicated activity, what with the glamorous exhibit and the fun hospitality on the one hand, and the rigors of the logistics and the myriad details on the other. But these activities are simply the trees—they are a means to an end. The forest lies in the business result and the planning that drives it. If you are paying attention to the trees alone, you miss the true power event marketing.

Rabu, 18 Februari 2009

Tip Dan Trik Rahasia Menjadi Orang Sukses

Tulisan ini saya kutip dari buku yang berjudul “100 Rahasia Menjadi Orang Sukses”, oleh David Niven, Ph. D., penerbit JENING Kreatif Bantul - Yogyakarta, Maret 2004.

Kompetensi Diawali Dengan Rasa Berkompeten

Seberapa baikkah Anda dalam menyelesaikan pekerjaan Anda? Apakah anda melakukan tes atau evaluasi periodik atau beberapa cara lain untuk menilai tindakan Anda? Jelas, ada cara objektif untuk mengetahui apakah Anda telah baik dalam melakukan pekerjaan Anda dan apakah sudah semestinya Anda menilai diri Anda telah sukses.

Sesungguhnya, orang yang tidak berpikir apakah mereka telah melakukan pekerjaan mereka dengan baik —yang telah berpikir bahwa mereka dapat meraih kesuksesan atau kepemimpinan —tidak mengubah pandangan mereka ketika mereka dihadapkan dengan indikator-indikator kesuksesan. Sebagai penggantinya, keraguan diri mereka mengesampingkan bukti-bukti yang ada.

Jangan menunggu evaluasi Anda yang selanjutnya untuk meningkatkan penilaian Anda terhadap diri Anda sendiri, karena perasaan tidak tergantung pada fakta dan rasa kompetensi sesungguhnya diawali dengan perasaan berkompeten dan kemudian menghasilkan kompetensi.

Masalahnya Bukan Seberapa Giat Anda Bekerja

Bekerja keraslah dan Anda akan mendapatkan imbalannya. Ini terdengar sederhana. Tetapi jangan lupa bagaimana seorang siswa belajar untuk sebuah ujian. Beberapa anak belajar terus menerus tapi mendapatkan hasil yang rendah. Disisi lain beberapa anak giat belajar dan mendapat hasil memuaskan.

Anda dapat berusaha mati-matian secara tidak efisien tapi tidak mendapat apa-apa. Atau Anda memilih usaha sederhana secara efisien lalu memperoleh imbalan yang pantas.

Tujuan dariapa yang Anda kerjakan adalah mewujudkan kemajuan, bukan hanya mencurahkan tenaga dan usaha Anda.

Kreatifitas Lahir Dari Dalam Diri Sendiri

Setiap orang ingin berpikir tentang sesuatu hal yang baru — memecahkan masalah yang orang lain tidak bisa memecahkan — menawarkan gagasan yang tidak terpikirkan orang lain. Dan setiap perusahaan ingin mendorong karyawan-karyawannya agar memiliki ide gagasan yang besar dan baru.

Dengan demikian, ketika sebuah perusahaan menawarkan bonus kepada karyawan-karyawannya atas sebuah gagasan yang kreatif, harusnya banyak pemikiran besar dan original yang lahir.

Kita berpikir bahwa kreatifitas, sebagaimana tugas-tugas lain dapat diperjualbelikan. Namun kreatifitas tidak sama dengan bekerja dan berusaha dengan giat, ia membutuhkan inspirasi yang lebih. Ia adalah produk pikiran yang dibangkitkan oleh pertanyaan, situasi atau kemungkinan.

Dengan demikian kreatifitas tidak lahir dari pertukaran uang atau imbalan, tetapi ia lahir ketika kita memfokuskan perhatian kita terhadap sesuatu karena kita menginginkannya.

Raihlah Kemenangan-Kemenangan Kecil

Berusahalah mencapai tujuan Anda itu seperti mendesain teka-teki untuk menyusun potongan-potongan gambar. Sekalipun akhirnya Anda ingin mendapatkan hasil akhir, Anda harus terus mengerjakan bagian demi bagian.

Ketika Anda menghabiskan sebagian besar waktu Anda untuk mewujudkan kemajuan, Anda harus menikmati apa yang sedang Anda lakukan agar sampai pada titik akhir.

Nikmati kesuksesan itu dan rayakan kesuksesan-kesuksesan kecil untuk meningkatkan upaya Anda selanjutnya.

Jumat, 30 Januari 2009

Rahasia Kesuksesan dan Kemajuan Orang Jepang

Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom sekutu (Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit. Mau tidak mau harus diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan sudah menjelma menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi. Alhamdulillah saya mendapat kesempatan 10 tahun tinggal di Jepang untuk menempuh studi saya. Dalam artikel sebelumnya saya mencoba memotret Jepang dari satu sisi. Kali ini, saya mencoba merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Tentu rumusan ini di beberapa sisi agak subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan orang Jepang di sekitar perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama. Intinya kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak harus kita contoh.

1. KERJA KERAS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi ;) ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery) bermerk Matsushita yang terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita :) Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).

7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku asli (bahasa inggris).

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok”. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena ”hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang ;) Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Mungkin seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya rangkumkan. Bangsa Indonesia punya hampir semua resep orang Jepang diatas, hanya mungkin kita belum mengasahnya dengan baik. Di Jepang mahasiswa Indonesia termasuk yang unggul dan bahkan mengalahkan mahasiswa Jepang. Orang Indonesia juga memenangkan berbagai award berlevel internasional. Saya yakin ada faktor “non-teknis” yang membuat Indonesia agak terpuruk dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama mencari solusi untuk berbagai permasalahan republik ini. Dan terakhir kita harus tetap mau belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga.

Written By : Romi Satria Wahono
Diposting dari www.ubb.ac.id

Jumat, 16 Januari 2009

Anda Tau, Rahasia Sukses Bos-bos Jepang?

Pernah orang Jepang dijuluki les marchands des transistors (pedagang transistor) oleh de Gaulle. Namun sekarang mereka bukan hanya juara dunia dalam hi-fi, tetapi juga dalam microprocessor, mobil, bioindustri dan lain-lain. Dalam sepuluh tahun terakhir produksi Jepang meningkat dua kali lebih cepat daripada Amerika Serikat. Apa rahasianya?Berikut ini kita akan menjenguk orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kemajuan tehnik Jepang.

Mula-mula kita jumpai Akio Morita si pencipta perusahaan Sony. Dia menyukai olahraga golf, sekaligus menjadi pengagum musikus Beethoven. Saking gandrungnya pada musik sampai-sampai di lapangan pun dia ingin bermain golf sambil mendengarkan Symphony kesembilan.

“Saya membutuhkan sebuah alat kecil dengan pengeras suara,” kata Akio Morita pada anak didiknya. Tak lama kemudian tcrciptalah walkman.

Dia berusia sekitar enampuluhan, kurus, rambutnya putih dan matanya hampir kuning. Tapi ia nampak seperti umur duapuluh karena semangatnya yang tak kenal lelah.

Rumahnya di daerah kedutaan, di Tokyo. Bertingkat, dengan kebun dan sebuah kolam renang. Boleh dikata dia seorang boss Jepang yang sudah berorientasi ke Barat. Dia tak berkeberatan istrinya turut menjamu tamu dalam pakaian Barat. Tetapi, ia tetap menjalani hidup sederhana dan kekeluargaan menurut tradisi.

Setiap pagi pukul delapan tepat Akio Morita tiba di kantor. Ia selalu mengenakan seragam yang sama dengan yang dipakai anak buahnya, meskipun jas luarnya buatan Inggris. Ini untuk menunjukkan semangat demokratis yang menjiwai setiap perusahaan Jepang.

Pada tahun 1947 Akio Morita mendirikan perusahaan Sony; memasarkan transistor yang pertama, televisi berwarna pertama, dan walkman pertama. Saat ini perusahaan sedang maju-majunya, ia mengekspor 70% dari produknya. “Pasaran kami adalah seluruh dunia,” katanya.

Kemajuan teknologi Jepang didorong oleh semangat untuk menyegerakan, dengan penuh kesadaran dan rasa kebanggaan. Tidak sampai dua generasi untuk mewujudkan mukjizat ini. Sebelumnya, orang Barat mengejek, Jepang hanya bisa membuat sepeda yang rodanya tidak bisa berputar dan jam-jam yang tidak bisa dipercaya. Karikatur tahun tigapuluhan pernah menunjukkan gambar seorang pemburu menyandang sepucuk senapan, yang ketika picunya ditarik maka larasnya menggembung. Capnya: made in Japan (bikinan Jepang).

Tetapi tiba-tiba orang Jepang tergila-gila pada perlombaan matematika dan fisika. Ujian-ujian di berbagai universitas menjadi sangat berat dan terjadi persaingan mati-matian. Ini menghasilkan orang-orang yang pandai. Di Pusat Penelitian Sony, jejak kaki para direktur yang sukses dicetakkan di atas tanah, seperti halnya jejak kaki para bintang Hollywood di studio MGM.

Saingan istrinya sebuah komputer

Sama dengan majikannya, Makoto Kikuchi direktur baru pada Pusat Penelitian Sony ini bisa berbahasa Inggris, dengan tujuan dapat berbicara dengan robotnya; sebuah “Apple” Amerika.

“Masih yang terbaik untuk saat ini,” ucapnya jujur. Laki-laki berusia 45 tahun ini sebelumnya sudah sangat terkenal di Jepang sebagai ilmuwan yang paling mengagumkan dari Pusat Penelitian Negara. Ia mengkhususkan diri dalam microprocessor. Ia pindah ke Sony enam tahun yang lalu.

Dalam sebuah rumah yang amat kecil berbentuk bujur sangkar dan terbuat dari kertas minyak itulah ia tinggal bersama istrinya dan hidup dengan sederhana. Dengan kimononya dan berlutut di atas tikar Jepang, istrinya dengan setia menemani suaminya bermain dengan komputer.

Mottonya: Research Makes The Difference, menggambarkan keambisiusan Makoto Kikuchi. Motto ini ditulis pada truk-truk perusahaan dalam bahasa Inggris supaya menimbulkan kesan eksotis.

Ia punya rencana untuk beberapa tahun mendatang: membuat komputer yang bisa menguraikan bahasa percakapan orang Jepang supaya setiap orang Jepang dapat berbicara dengan komputer.

Dengan senang hati, dia mengundang 190 penyelidik datang ke pusat penelitiannya. Kata Makoto: “Sony memberikan 3,5 sampai 5% penghasilannya untuk penelitian.” Tambahnya: “Sebelum ini saya bekerja di sebuah laboratorium di Amerika Serikat. Di Sony, cukup hanya satu jam bagi saya untuk memperoleh sebuah alat yang harganya setengah juta dolar. Saya lalu bisa menghargai perbedaan ini.” Ia tetap seorang Jepang Tulen meskipun lama tinggal di Amerika Serikat.

Para peneliti Sony mempelajari sinar energi matahari, teknologi silikon dan lainnya. Tetapi bidang yang paling disukainya adalah semiconductor. Dia memulai segalanya dari nol pada tahun 1976.

Di perusahaan Sony, kaitan penelitian produksi dengan pemasaran merupakan satu keharusan yang permanen. Contohnya, setiap Minggu pagi Makoto sarapan bersama Akio Morita dan Direktur Marketingnya. Hubungan yang begitu wajar dan akrab antara peneliti dan pemimpin ini jarang sekali terjadi di Amerika maupun di Eropa.

Morita yang sudah begitu kebarat-baratan, yang kalau bermain golf memakai kemeja dan topi Amerika, tetap membungkukkan badan sampai ke tanah bila berjumpa dengan kawan. Dalam mobil ia memiliki telepon, televisi dan magnetoskop; tetapi ia tetap mengenakan seragam yang sama seperti 35.000 anggota Sony.

Honda tidak memberi warisan kepada anak

Soichiro, 78 tahun, adalah pendiri Honda Motor. Ia juga mengenakan seragam karyawan biasa di perusahaan, kemeja dan topi putih. Dia lebih suka bekerja di bengkel, meskipun tersedia ruangan di setiap perusahaannya. Sebelum pecah perang, ia pernah menjadi montir biasa.

Sedikit demi sedikit ia turut meletakkan dasar perusahaan. Sekarang ia mengepalai 23.000 buruh dan membawahi 43 perusahaan di 28 negara (enam ada di Jepang).

Anak buahnya diberi kepercayaan total dan tanggung jawab pribadi atas apa yang dihasilkannya.

Soichiro tidak memiliki harta pribadi. Dia tinggal dalam sebuah rumah sederhana. Kegemarannya melukis di atas kain sutra dan bermain golf. Barangnya yang berharga cuma sebuah helikopter dan mobil biasa. Penghasilannya dipakai untuk penelitian dan bea siswa kaum muda. Dia bahkan tak memberi warisan kepada anak-anaknya.

“Warisan paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri,” katanya.

Hadiah untuk gagasan yang paling baik

Kyoto Ceramics adalah salah satu pabrik pembuat microchips (elemen-elemen kecil komputer) yang paling kuat di dunia.

Omset Kyoto Ceramics 400 juta dolar dan menghasilkan keuntungan luar biasa, 12% setelah dipotong pajak.

Ada tujuh buah perusahaan di Amerika Serikat dan tiga di Jepang. Inamori sang pemimpin, seperti juga Soichiro Honda dan Kaku pemimpin Canon, menganggap dirinya sebagai karyawan biasa. Selisih gaji direktur dan buruh baru di Jepang lebih kecil bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat.

Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya.

Bagaimana mereka bisa memegang prinsip sebaik itu?

Mari kita menengok ke Gamo, salah satu pabrik keramik di Kyoto. Kurang lebih 50 kilometer dari Kyoto. Di sini pada pukul delapan pagi seluruh karyawan Gamo berkumpul dalam ruang-ruang besar. Dari tiap ruang, di atas sebuah panggung seorang laki-laki meneriakkan: berdiri, bersiap, luruskan kaki dan istirahat. Ratusan laki-laki dan perempuan dalam seragam biru berdiri siap. Laki-laki lalu melaporkan hasil pekerjaan bulan lalu dan menambahkan delapan pesan produksi, tentang mutu, penurunan ongkos dan sebagainya.

Selesai laporan, dia memanggil lima orang maju ke depan. Mereka diberi hadiah, karena telah menyumbangkan gagasan yang paling baik, pada bulan sebelumnya. Di semua perusahaan Jepang, para insinyur dan buruh diundang menyumbangkan gagasan untuk lebih memajukan produktivitas, keamanan dan semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan

Di Canon, setahun yang lalu, masuk sekitar 146.242 gagasan yang ternyata dapat menghemat lebih dari tujuh juta yen!

Sebulan sekali mereka berkumpul, memberi laporan pekerjaan selama ini, bertukar pengalaman dan mutu pekerjaan mereka.

Hadiah bagi gagasan mereka yang terpilih antara lain medali, jam tangan, tiket kereta atau pesawat terbang. Yang kurang berinisiatif tak akan mendapat apa-apa. Tak pernah terjadi seseorang mendapat sanksi negatif.

Setiap pekerja memiliki saham dan dividen dari perusahaan. Benar-benar merupakan perwujudan demokrasi yang didasarkan pada penghargaan hasil kerja dan atas hierarkinya. Di Jepang, persaingan ditumbuhkan sejak kanak-kanak. Keluaran sekolah bereputasi tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang baik.

Di tiap perusahaan ada serikat buruh, yang setiap tahunnya mengorganisir pemogokan untuk memperoleh kenaikan gaji yang disebut Shunto. Tetapi Shunto ini cuma suatu upacara tradisi, bukan pemogokan seperti layaknya di Barat.

Robot membuat robot

Di kaki Gunung Fuji ada robot membuat robot. Robot-robot itu bekerja dengan diam-diam. Beberapa manusia membaca lembaran kertas besar yang keluar dari terminal robot.Di Honda Motor Cie, di sebuah dusun dekat Tokyo, kita bisa melihat mobil yang di-assembling oleh robot, yang mematri 160 kali setiap detiknya. Grup-grup yang terdiri dari lima atau enam buruh memeriksa hasil kerja robot. Setiap buruh diizinkan menghentikan pekerjaan dengan cara menekan tombol merah, bila ada yang kurang beres.

Hasilnya: pada produksi akhir hanya ada 0,1% yang apkir, dibanding dengan 20% di Eropa. Di Sony, semua karyawannya teliti. Para majikan di Eropa memimpikan pabrik mereka bisa menyamai Jepang, dan mendambakan buruh-buruh yang serupa pula.

Di perusahaan Canon, Tuan Kaku yang adalah presiden direkturnya itu dan para buruhnya, saling menundukkan kepala mereka sama dalamnya. Percakapan antara mereka bisa membuat heran telinga-telinga Perancis.

Tuan Kaku menjelaskan secara mendetil target keuangan dan tehnik yang ingin dicapai perusahaan. Kepala serikat buruh Canon meyakinkan majikannya, keberhasilan Canon merupakan satu kepuasan bagi seluruh karyawan dan mereka ingin bekerja sama sepenuhnya bersama direksi.

Majikan-majikan Eropa sangat kagum melihat modernisasi Jepang. Kagum bukan hanya karena melihat sindikat-sindikat buruh dapat bekerja sama begitu baik dangan majikannya, tetapi juga melihat para majikan yang tak pernah memecat buruhnya itu.

Mereka melihat suatu industri di mana otomatisasi tidak menciptakan pengangguran, dan setiap buruh mau dan dapat memahami apa pun yang mereka lakukan. Mereka juga mendapat penjelasan mengenai jalannya perusahaan. Yang nampak di depan mereka adalah sebuah dunia, di mana disiplin yang mirip disiplin militer itu dapat berjalan berdampingan dengan rasa hormat pada setiap individu. Inilah rahasia kemajuan Jepang.

Diposting dari www.henlia.com

Minggu, 11 Januari 2009

Begitu hebatnya JEPANG, Negara kecil Dibanding Tanah air kita…

Sudah lama saya mendapat e-mail ini dari salah seorang mahasiswa S3 di Graduate School karena saya ikutan milist disalah satu webset lowongan kerja, www.jobindo.com. Sebenarnya saya ikutan milist agar dapat job-job lowongan pekerjaan. Tapi saya sangat beruntung ketika membuka salah satu e-mailku diyahoo. Beginilah isinya...

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta.

Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.

01. Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah m eli hat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa m eli hat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.

Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh dis eli ngi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari system pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: t eli ti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.

Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana .

Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut m eli hat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat.
Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang k eli ru tidak akan bunuh diri. Karena kek eli ruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di Negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00.

Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.

02. Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami memb eli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami memb eli nya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa),

karena kami sudah m eli hatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero.

Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pemb eli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali m eli batkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket m eli hat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.

03. Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi m eli hat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya m eli hat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya m eli hat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu m eli hat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.

04. Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta.

Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang hádala yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.

05. Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya.

Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat.

Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi – apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya. Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian.

SALING PERCAYA ADALAH KUNCINYA.

Melalui tulisan ini saya hanya sekedar menyampaikan “PENGALAMAN SEORANG MAHASISWA INDONESIA YANG TINGGAL DI JEPANG” agar dapat ditiru oleh bangsa kita.